LUPUS
Merenggut Hidup Isteri Saya

In Memoriam
1 Tahun Wafatnya Isteri saya terkasih
18 Desember 2007 - 18 Desember 2008
binti
Moh.Syafei
Anggota Keluarga besar "Djemachir"
Merpayang, lahat, PALEMBANG
Lahir : Bogor, 4 Januari 1964
Wafat : Depok, Selasa 18 Desember 2007 - Pukul: 22:45 WIB
(Dalam Usia - 43 tahun)
Selasa, 18 Desember, 2007, pukul 22:45 wib, isteri saya tercinta, yang telah mendampingi saya selama 15 tahun dalam bahtera keluarga yang bahagia dan harmonis, kalah berjuang dengan penyakit LUPUS yang diidapnya selama 11 tahun. Allah Swt, berkehendak bijak, membebaskan seluruh penderitaan, rasa sakit tak terhingga dan kelelahan yang amat sangat yang dialami Jenny. Di saat yang sama, para jemaah haji di Padang Arafah sedang wukuf. Cita-citanya berhaji sebelum ajal menjemput belum kesampaian, namun Allah mengambilnya tepat saat seluruh umat sedang menunaikan ibadah haji.
AWALNYA SAKIT FLU BIASA
Sebelas tahun silam, Jenny melahirkan putera bungsu kami. 4 bulan kemudian, Jenny awalnya menderita influenza. Seperti biasanya, dokter keluarga kami memberikan obat flu pada umumnya. Namun penyakit flu yang menyerangnya kali ini tergolong tidak biasa. Sekujur tubuhnya terasa panas, seluruh persendian nyeri dan masa pemulihannya agak lama. Tidak sampai 2 minggu sejak sembuh dari flu, ia sakit lagi. Kali ini demam tinggi, mual dan mengalami kesakitan hebat di sekujur tubuh. Untuk bergerak pun sulit. Jenny di diagnosa menderita Typus akut dan demam berdarah dan harus dirawat selama 10 hari.
Sejak itu, kondisi Jenny yang semula sehat walafiat mudah jatuh sakit. Dokter keluarga kami mulai mencurigai ada yang tidak beres pada kondisi kesehatannya. Rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam senior, dr. Yoga Kashjmir, SpPd (K.Rhematoid) menyatakan bahwa isteri saya tercinta mengidap LUPUS Penyakit yang belum ditemukan obatnya.
Saya terdiam seribu bahasa, hanya dapat berujar dalam hati "Astagafitrullah al azhim, ya Allah...apakah ini kehendakmu, berikan saya petunjuk karena saya harus lebih sabar menghadapi cobaan berat ini".
MULAI BELAJAR BERSAHABAT DENGAN LUPUS
Perlahan-lahan saya menjelaskan pada Jenny perihal penyakitnya, untuk membesarkan hati dan menyiapkan mentalnya untuk hidup bersama penyakit yang belum ditemukan obatnya.
Obat-obatan yang diberikan oleh dokter selama ini hanya berfungsi untuk mengendalikan Lupus nya tidak agresif. Saya harus bersikap tegar menghadapi cobaan berat ini. Vonis bahwa isteri saya menderita Systemic Lupus Erythemateous (SLE) membuat saya menjadi makin dekat, menyayanginya, merawatnya dengan penuh cinta dan kasih. Menjaganya agar tidak patah semangat. Dengan kebersamaan, saya harus menjaga isteri tercinta saya, dalam keadaan senang dan susah.
SLE adalah penyakit "misterius" yang belum diketahui penyebabnya. Di golongkan dalam penyakit autoimun, yakni anomali sistem kekebalan tubuh yang menjadi tak terkendali, di mana sebenarnya sistem kekebalan tubuh kita adalah untuk menangkal pathogen dari luar, baik bakteri, virus maupun lingkungan. Dengan tidak terkendalinya kerja sistem kekebalan otomatis ini dalam tubuh, maka organ-organ sistemik sendiri yang ada dalam tubuh diserangnya, menyebabkan komplikasi gagal organ akut seperti gagal jantung, gagal ginjal, gagal paru.
SELALU DALAM KENANGAN
Jenny merupakan pendamping hidup yang amat sangat ideal yang dapat dijadikan panutan dalam keluarga. Sebagai ibu rumah tangga ia adalah wanita yang penuh cinta kasih baik kepada suami, anak-anak, pembantu rumah tangga maupun tetangga-tetangga kami.
Tidak pernah menuntut dan sangat sederhana. Ketika dengan kepedulian saya menyarankan untuk mengganti sepatunya yang sudah usang, ia dengan enteng mengatakan: “ Belum perlu Ayah, masih bisa dipakai. Uangnya dipakai untuk beli obat saja dan ditabung untuk cadangan bila kita perlu”
Demikian pula ketika saya berniat mengganti handphone
jadul nya
Nokia 5110 dengan yang baru ia tidak mau karena fungsinya sama hanya untuk sms dan berkomunikasi.
Satu hal yang selalu saya puji adalah kepeduliannya pada sesama, ia selalu berbagi meski dalam keadaan susah maupun kondisi sakit kritis.
Beberapa hal tindakan mulianya sering membuat surprise. Ia dengan penuh cinta menolong siapa saja yang sedang susah, sakit berat atau kesulitan ekonomis Jenny selalu berupaya mengulurkan bantuan, kendati, katakanlah, di dompetnya tersimpan uang yang seyogyanya untuk belanja rumahtangga hari ini, ia akan berikan apabila memang ada yang memerlukan. Bahkan tidak jarang, beras di rumah sering diberikan pada siapa saja yang nampak sedang kesusahan atau tidak bisa makan.
Oleh sebab itu,banyak sahabatnya dari kampung belakang kompleks perumahan kami sering berhenti menengok ke rumah, mengenang kebaikannya. Mereka sangat kehilangan.
Delapan bulan sebelum wafatnya, Jenny masih mampu menolong seseorang yang sama sekali tidak pernah dikenal sebelumnya, di mana seorang wanita muda hamil 6 bulan ditinggalkan pacarnya dalam keadaan serba menderita.
Dengan penuh kasih, wanita tersebut diminta tinggal di rumah hingga bayi yang akan digugurkan itu, dibantu kelahirannya dan dirawat pula bayinya dengan konsep yang mulia bahwa apabila kemudian hari sang ibu ingin mengambil kembali bayinya, Jenny dengan suka rela akan memberikan kembali.
" Hidup ini cuma titipan, koq. Kita tidak dapat memilikinya. Lillahitaallah saja."
Ia tidak pernah mengeluh bahwa dirinya sedang mengidap sakit serius yang dapat mengancam jiwanya sewaktu-waktu. Semua dijalaninya dengan penuh tanggung jawab dan tiada pernah mengeluh.
Kehadiran anak angkat perempuan yang diberi nama Riska Lestari Purnomo, membawa kebahagiaan yang tak terhingga baginya. Kami memanggilnya Ica. Sangat tak terduga, Jenny tiba-tiba sangat sehat. Tiap pagi, siang & malam Ica dirawat dengan penuh kasih sayang. Memberi susu, memandikan dan menidurkannya.
Satu hal yang membuatnya sangat terpukul tatkala tangan kirinya tiba-tiba muncul banyak bisul yang tidak terkendali. Dokter mendiagnosanya sebagai vasculitis dan kami sempat diundang untuk didiskusikan di RSCM dengan sesama dokter ahli Lupus senior seperti Prof.dr.Zubairi Djoerban KHOM, Prof dr. Abdul Muthalib dll.
Sejak mendapat penyakit ikutan Vasculitis, ia banyak termenung. Kesehatannya mulai menurun drastis lagi. Ia pun terkena Lupus Pneumonia.
Sebagai suami, saya harus pandai mengantisipasi semuanya dengan komitment tinggi. Merawatnya dengan penuh kasih dan memberikan perhatian penuh tanpa syarat apa pun.
Ayah, Aku Tidak Kuat Lagi......
Tiga minggu sebelum almarhumah "mangkat", ia merasakan seluruh badannya sangat sakit , lemas, tidak bisa digerakkan. Saya mulai mencurigai bahwa Jenny mulai diserang stroke.
Lidahnya kelu.
Bicaranya pelo.
Matanya hanya bisa memandang kosong ke arah kami dengan sendu,
terkadang diiringi lelehan air mata.
Namun esok harinya ada perkembangan baik. Pagi seperti biasanya saya memandikannya, setelah selesai, ia berusaha menggamit tangan saya, meskipun sangat lemah ia berbisik:
"Ayah....aku nggak kuat, sakit semua. Tolong aku, ayah....please..."
Saya hanya bisa mengangguk pelan, hampir tank sanggup menatap sorot matanya yang mengharapkan pertolongan itu.
Saya merasa sangat bersalah.
Merasa sangat berdosa.
Tidak mampu lagi memberi pertolongan pada isteri tercinta & terkasih saya.
Tidak lagi mampu berbuat apa-apa.
Semua obat pereda sakit terbaik, terhebat di dunia sudah diberikan.
Bahkan Dokter ahli Lupus terbaik, Prof.dr. Zubairi Djoerban dan Dr. Dyah memberikan perhatian lebih padanya, teleponnya 24 jam disiapkan untuk Jenny dalam keadaan kritis. Beliau dan tim ahlinya sudah berjuang maksimal untuk menyelamatkan "Si Cantik Jelita yang menawan, yang dimata saya sebagai wanita sangat mulia , 99,999 % hampir tanpa cacat."
Saya hanya dapat berdoa sambil mengangguk pelan dan memandanginya.
"Ya Allah, turunkanlah muzizatmu untuk menyelamatkan isteriku,
berikan ketabahan, kekuatan..padanya"
Sore harinya, Jenny memanggil saya:
" Ayah, aku minta maaf, sudah sangat merepotkan. Aku sudah tidak lagi berguna sebagai isteri, tidak mampu melayani ayah. Tapi, aku masih perlu ayah menemaniku....aku perlu teman ayah. Aku takut....takut......"
"Sudahlah, Mam. Tidak usah berpikir jauh begitu," saya berusaha menenangkannya dan menghiburnya " Mam, ingat janjiku saat nikahi Mama? Senang kita bersama, susah juga saya harus bersama. Aku tidak akan meninggalkan Mama dalam keadaan apa pun."
"Aku sudah banyak menyusahkan...." katanya terbata-bata
"Sudah,....sudah, kita doa yuk," bujuk saya.
"Ayah, aku ikhlas ayah nikah lagi, tidak usah pikirin aku." Katanya sambil menangis.
Astagafirullah alazim, ucap saya dalam hati.
Hati saya sangat kelu.
Mulut kaku,tak mampu berbicara apa pun.
Saya menghela nafas panjang sambil mengusap kepala Jenny :" Tidak sayangku. Apa pun, bagaimana pun kondisi Mama, Mama adalah Mama ku, tetap isteri ayah."
Jenny terdiam, matanya terpejam, menangis sesenggukan sambil memeluk saya. Pelukannya sangat erat…erat sekali dan terasa hangat.
Selasa, 18 Desember, 2007,
setelah mengalami perjuangan panjang penuh dengan ketidak pastian diiringi kesakitan yang teramat sangat, Jenny menampakkan gejala sudah tidak kuat menahan penderitaan sakitnya.
Ia tertidur terus.
Kondisinya benar-benar lemah sekali.
Tidak lagi dapat merespons panggilan saya dan anak-anak.
Wajahnya sangat pucat. Ujung-ujung kakinya mulai menghitam,
Saya tercenung, bingung.
Hati saya sangat gelisah dan takut terjadi sesuatu yang paling tidak diinginkan oleh setiap pasangan.
Saya berkali-kali menghela nafas dalam dan badan saya terasa dingin melihat Jenny tidak memberikan respons apa pun.
Saya memelukinya erat-erat sambil menangis.
Saya belum siap menerima kenyataan paling buruk.
Keluarga, tetangga dan handai taulan berkumpul, memanjatkan doa.
Semua ikut menitikkan airmata untuk Jenny.
Luruh sudah semua ketegaran kami, yang ada hanya kesedihan, tetesan airmata dan helaan nafas panjang para kerabat.
Semua melantunkan ayat-ayat Alquran bersambungan terus-menerus.
Kami semua sudah putus asa. Benar-benar putus asa.
Satu-satunya hanya dapat menunggu harapan...harapan muzizat Allah, muzizat yang diharapkan di ujung detik-detik yang kritis.
Dalam kondisi serba tidak menentu, kami semua hanya dapat memandanginya.
Ia tergolek amat sangat lemah di detik-detik akhir.
Nafasnya sudah satu per satu.....satu.....satu....dan satu.
Saya dengan sigap meraih stetoskop...
Saya ingin mengikuti degup-degup jantung Jenny untuk terakhir kalinya dengan seksama.
Irama jantung nya sudah sangat perlahan....makin jarang, makin lemah....., sementara nafasnya sudah berhenti.
Badan saya sekejap dingin semua, wajah pucat pasi....antara sadar dan tidak.
Namun degup jantungnya masih terdengar ditelinga saya, tapi sangat...sangat lemah, Jantungnya berupaya memompa terus. Hingga akhirnya degupnya yang terakhir benar benar berhenti. " Duggg........" kemudian sunyi.
Ulu hati saya sakit...., sedih.....betul-betul saya merasakan kesedihan terhebat yang pernah saya alami. Isteriku, belahan jiwaku, ...telah meninggalkan saya......
Saya, kerabat, tetangga....hanya mampu menundukkan kepala.
Mata kami terpejam dan air mata kami tak lagi mampu dibendung.
Saya sangat lemas.....
Tubuh saya lunglai dalam kelelahan yang amat sangat.
Allah tetap membisu seribu bahasa.
Membawa Jenny pulang ke pelukannya.
" Ya Allah, kenapa orang baik selalu hidupnya singkat begini. Kita sangat kehilangan, rindu pada tawa ceria mu, rindu pada wajah mu yang memancarkan kemuliaan pada setiap orang, rindu pada peluk cium mu. Selamat jalan Jenny ku sayang."
Semoga membisunya Allah memberi hikmah terbaik, menyandingkan Jenny di sisinya yang Mulia.
Kesedihan saya memuncak di kala subuh, Andrian, putera kesayangannya yang semalam tidur lelap disamping ibunya, bangun.
Ia belum tahu bunda nya sudah tiada.
Seperti biasanya begitu bangun ia ke ruang keluarga.
Ia berdiri tertegun, seolah-olah tidak percaya, melihat jasad ibundanya sudah pucat, terbujur kaku menghadap ke Barat, di karpet.
Ia memandanginya dan bertanya dengan lugu pada saya: “ Ayah, kenapa dengan Mama?”
Saya tidak dapat menjawab pertanyaannya dengan seketika.
Saya hanya bisa memeluknya sambil menangis lalu berbisik ditelinganya : “ Mama sudah meninggal, Dik.”
Saat itu, tangisnya benar-benar meledak dan ia memeluk jenazah Jenny.
Menciuminya dalam-dalam, memanggil-manggil nama ibunya sambil sesenggukkan. Air matanya membasahi wajah ibunya yang sudah kaku dan dingin.
“Aku sayang Mama…….”
“Kenapa Mama tinggalin Ian…..”
“Mama……aku nggak punya Mama lagi….., Mama…..maafin aku, Ma…..”
Ketika hari pemakaman, esoknya, semua orang berduyun-duyun mengantar kepergiannya.
Abang-abang becak yang sering mangkal depan kompleks,
para sahabat dari kampung, pedagang kue tenong, pedagang sayur, para pembantu kompleks,
Para tetangga, Ibu-ibu majelis Taq'lim, utusan khusus Eyang M.Soeharto.
Para perwira kepolisian
Para perwira tinggi militer
Mami, Adik, Kakak, Sepupu, Uwak dan keluarga besar Palembang hadir memenuhi tempat peristirahatan terakhirnya.
Sejam setelah liang lahat ditutup, langit tiba-tiba gelap gulita, kilat menyambar-nyambar dan hujan teramat sangat lebat turun.
Kini lebih dari 1 tahun sudah berlalu engkau tiada.
15 tahun kita bersama mengarungi bahtera rumahtangga yang harmonis, terasa sangat singkat.
Kamu teramat cepat pergi meninggalkan kami.
Kami semua rindu kehadiranmu.
Rindu pada kehangatan kasih sayangmu.
Anak-anak kalau malam hanya bisa ber-andai-andai tentang keberadaanmu
Si kecil Icha sering menangis memanggil-manggil nama mu....
"Sayang Mama," katanya," juga kangen Mama".
Si bungsu Andrian sering terdiam.
Ia lebih mandiri sepeninggalmu.
Sewaktu-waktu kalau kangen padamu, ia memutar Videomu yang sedang bercengkarama dengan mu.
Juga foto-foto mu tak bosannya dibolak-balik dan diciumi.
Aku juga merasa sendiri.
Sunyi, sepi sekali, di rumah. Seakan ada sesuatu yang kurang.
Kesepian selalu menyeruak tanpa mu Jenny ku sayang.
Aku masih menyimpan SMS-SMS lama-mu, tatkala engkau masih terbaring di Rumahsakit.
Ungkapan-ungkapan mesra mu, pesan-pesan sayang mu pada ku.
Lagu-lagu cinta yang sengaja kau rekam untukku dan ucapan cinta mu masih tersimpan baik dalam handphone.
Aku tidak menghapusnya...untuk ku kenang sepanjang hayat.
Kalauku rindu padamu tak terbendung, kukunjungi makam mu sendiri.
tak terasa kadang air mataku meleleh di makam mu.
Aku tidak cengeng,
Cuma kangen sama kamu
"I love You, honey....."